Dampak Akulturasi Budaya Islam terhadap Pergeseran Nilai Religi Hindu-Buddha di Indonesia

Dampak Akulturasi Budaya Islam terhadap Pergeseran Nilai Religi Hindu-Buddha di Indonesia – Religion magis merupakan sebutan sejarawan barat terhadap kepercayaan asli masyarakat Indonesia, mengenai nilai budaya yang sangat mengakar dalam unsur religi. Kebudayaan masyarakat Indonesia  yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Budha, prosesnya bukan sekedar akulturasi saja, akan tetapi terjadi kebangkitan kebudayaan-kebudayaan di nusantara khususnya di Jawa, dengan memanfaatkan unsur agama dan kebudayaan India. Berdasarkan hal yang memengaruhi pergeseran nilai religi, dampak-dampak yang dihasilkan dari akulturasi agama Islam dan Hindu-Buddha yakni munculnya kebudayaan yang tidak ada di ajaran Islam namun muncul di Indonesia, kebudayaan tersebut seperti kegiatan sekaten dan grebeg maulid, ruwat, dan labuhan.

            Sekaten berasal dari kata “sekati” dan juga berasal dari kata bahasa arab “syahadatain” yang berarti dua kalimat syahadat. Menurut sejarah, perayaan sekaten bermula sejak kerajaan Islam Demak, namun berlangsung ketika jaman pemerintahan Raja Hayam Wurk di Majapahit yang  disebut “srada agung”. Perayaan yang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mentra-mantra, dan sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur. Setelah Majapahit runtuh, kemudian berdiri kerajaan Demak oleh Raden Patah dengan disertai dukungan para wali, kemudian perayaan tersebut dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Upacara sekatenan dikembangkan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Upacara sekatenan dapat disimpulkan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwah dengan lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil tumpahruah di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan lauk-pauk berikut sayur mayurnya untuk disantap.

            Selanjutnya selain sekaten, terdapat kegiatan ruwatan yang merupakan upacara adat dengan tujuan untuk membebaskan seseorang, komunitas, atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti dari ruwatan adalah do’a memohon perlindungan dari ancaman bahaya seperti bencana alam, pengampunan dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang dapat menyebabkan terjadinya bencana. Ruwatan berasal dari budaya Hindu-Buddha yang bermakna sebagai tolak balak. Lebih lanjut dalam ruwatan harus dilengkapi dengan berbagai sesaji yang terdiri dari berbagai macam makanan, lauk pauk kemasan hasil bumi dalam bentuk kecil yang diikat dan digantungkan sepanjang bambu melintang untuk dipersembahkan kepada leluhur untuk memohon perlindungan dari segala marabahaya. Sekarang ruwat dan sesajinya merupakan sebuah perlambangan antara harapan dan syukur bukan hanya untuk tolak balak saja.

            Labuhan bersal dari kata labuh Iyang artinya sama dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Labuhan dalam hal ini berarti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Upacara Labuhan yaitu upacara melempar sesaji dan benda-benda keraton ke laut, untuk dipersembahkan kepada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, dengan maksud sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala kemurahan yang telah diberikan kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta berharap semoga Keraton Mataran Yogyakarta tetap lestari dan rakyatnya selalu dapat hidup dengan damai sejahtera. Sekarang labuhan lebih bersifat sebagai bentuk rasya syukur kepada Tuhan, bahwa telah di beri rizki melalui hasil laut, dan juga bersyukur dijauhkan dari marabahaya.

2.2    Dampak Akulturasi Budaya Islam terhadap Pergeseran Nilai Tradisi Hindu-Buddha di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan daerah-daerah yang secara relatif lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan, terutama disebabkan oleh faktor komunikasi yang memungkinkan lebih cepatnya pembukaan isolasi daerah. Demikian pula terjadinya pengaruh Hindu-Buddha yang terutama pada awal perkembangannya yang terjadi di daerah-daerah yang ada pada jalur-jalur perdagangan seperti daerah yang dekat ke pantai, biasanya lebih dahulu menerima pengaruh Hindu-Buddha tersebut (Rochym,1983:109). Dampak dari akulturasi yang terlihat dalam hal pergeseran nilai tradisi Hindu-Buddha yakni, pernikahan, kelahiran, dan kematian.

            Pernikahan merupakan salah satu contoh institusi social yang terdapat dalam masyarakat. Secara garis besar perniakahan diberbagai daerah di Indonesia sama, yaitu adanya akad nikah dan walimahan (pesta). Perniakahan juga telah berakulturasi dengan kebudayaan Hindu-Buddha. Pernikahan dalam ajaran Islam selalu dipanjatkan doa-doa yang menggunakan bahasa Arab. Walaupun demikian, atar daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda dalam prosesi pernikahan. Misalnya saja di Sumatra, tradisi tersebut diantaranya diadakan selamatan dengan berbagai macam sajian makanan sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Pesta ini melibatkan dua kelompok, yaitu pembaca doa dan pembaca Al-Quran sebagai nilai akulturasi budaya Islam.

            Tradisi pernikahan juga memadukan unsur-unsur adat, seperti perlambang dan kiasan dalam makanan yang disajikan. Selain itu ada pula tradisi yang mengharuskan seorang wanita memegang daun berisi beras dalam pernikanan yang merupakan perlambang unsur alam, hal ini merupakan tradisi dari ajaran Hindu-Buddha. Tujuannya meruapkan persiapan dari proses kelahiran seorang anak. Pernikahan juga terakulturasikan dalam budaya Jawa terlihat dari pelengkap prosesi pernikahan adat Jawa diadakan siraman, selamatan, sesaji dan benda-benda perlambang yang harus diikutkan dalam prosesi upacara perniakahan. Sebenarnya selamatan dan sesaji merupakan warisan tradisi Hindu-Buddha yang masih berkembang dalam masyarakat sampai saat ini, sedang prose akad nikah dan walimah merupakan akulturasi agama Islam.

            Setelah prosesi pernikahan terdapat pula suatu keadaan yang disebut kelahiran. Dengan masuknya budaya Islam ternyata juga berpengaruh pada proses kelahiran seorang bayi. Sebagai contohnya kelahiran di Aceh terutama di daerah Gayo. Tradisi menuju proses kelahiran dimulai sejak pernikahan, berawal dari seorang wanita harus memegang daun berisi beras. Maksud dari tradisi tersebut yaitu, ketika seorang ibu nantinya mengandung dan melahirkan anak, maka secara tidak langsung telah memperkenalkan anak terhadap dunia luar dan memohon keselamatan dari berbagai bahaya yang mungkin datang. Sedangkan di Jawa, prosesi kelahiran dimulai dengan upacara mitoni. Upacara ini dilakukan pada saat usia kandungan 7 bulan, dalam upacara tersebut calon ibu melakukan siraman untuk melindungi bayi dan ibunya dari bahaya. Sedangkan dalam Islam, roh kehidupan masuk kedalam janin pada saat usia kandungan sekitar 4 bulan. Akulturasi diantara keduanya terlihat dalam doa-doa yang dibacakan.

            Setelah bayi lahir, masyarakat jawa baiasanya melakukan sepasaran dan selapanan, upacara ini dilakukan ketika bayi berumur sepasar 5 hari dan selapanan 35 hari. Sebagai ungkapan syukur atas kelahiran bayi, maka diadakan selamatan dengan melakukan pembagian sedekah berupa nasi tumpeng dengan urapan sayur. Selain itu dikenal pula tradisi aqiqoh. Tradisi ini bersumber pada ajaran Nabi Muhammad SAW untuk menyembelih domba bagi anak yang baru lahir. Aqiqoh dilaksanakan ketika bayi berusia 7 hari, akan tetapi dengan adanya akulturasi tardisi aqiqoh dalam pelaksanaannya dilakukan bersaman dengan sepasaran dan selapanan. Pada acara aqiqoh dilanjutkan dengan upacara pemotongan rambut.

            Seperti halnya dengan pernikahan dan aqiqoh, pada peristiwa kematian juga terdapat acara penghormatan kepada orang yang meninggal. Kematian adalah sesuatu yang tidak mungkin terlepas dari setiap manusia yang hidup. Kematin pada masa Hindu-Budhha merupakan suatu yang sangat menyedihkan namun tidak perlu berlarut-larut. Prosesi kematian dalam Islam hanya wajib untuk mensucikan jenazah, mengkafani, dan menguburkannya. Akan tetapi karena adanya akulturasi, misal setelah hari kematian adanya hari-hari pringatan selamatan atau acara tahlilan yang berisi pembacaan zikir dan tahlil. Pemberian nisan pada makam merupakan warisan kebudayaan Hindu-Buddha.

            Proses pemakaman yang dalam Islam tidak serumit tata upacara pemakaman Hindu-Budda. Pada masa Hindu-Buddha setelah jenazah dikuburkan maka akan diadakan selamatan, selamatan dalam hal ini sering disebut dengan tahlilan. Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan pada dasarnya pengucapan ”La ilahaillallah”, yang berarti “Tiada Tuhan selain Allah”. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Terlihat bahwa acara tahlilan tidak sepenuhnya ajaran murni Islam, Nabi Muhammad tidak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya. Tahlilan dimulai dengan hitungan hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000. Selamatan hari ke-1000 (3 tahun) dinggap sebagai selamatan penutupan dan bebaslah keluarga yang ditinggalkan. Tradisi ini sesungguhnya dari Hindu, yang masih dipegang teguh dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Selamatan di hari ke-1000 sama dengan upacara srada dalam agama Hindu. Akulturasi yang lain adalah kebiasaan memasukkan jenasah dalam peti. Kebiasaan ini merupakan warisan zaman megalitikum, yaitu kubur batui dan sarkofagus yang masih hidup sampai saat ini.

2.3    Dampak Akulturasi Budaya Islam terhadap Pergeseran Nilai Keindahan Hindu-Buddha di Indonesia

            Sebelum unsur-unsur Hindu-Buddha masuk, masyarakat Indonesia telah mengenal teknologi membuat bangunan dari batu pada masa Megalitikum. masyarakat telah pandai membangun menhir, sarkofagus, peti (kuburan) kubur, patung sederhana, dan benda benda dari batu lainnya. Setelah berkenalan dengan seni arsitektur Hindu-Buddha kemudian mengadopsi teknologinya dan terdapat candi, stupa, keraton, makara yang memiliki seni hias (relief) dan arsitekturnya yang lebih beraneka. Setelah Islam masuk maka seni arsitektur berkembang dan banyak diterapkan dalam pembangunan-pembangunan masjid. Dampak Akulturasi dalam hal keindahan dapat terlihat pada bangunan-bangunan masjid, dan kesenian.

            Bentuk bangunan masjid-masjid di Indonesia terutama di Jawa kebanyakan berbentuk seperti pendopo yang berbentuk bujur sangkar dan atap masjid berbentuk tumpang. Bentuk atap tumpang merupakan perpaduan dengan Hindu yakni tumpang dalam agama Hindu berarti menghiasi pura. Atap masjid di Jawa sangat berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai asal Islam. Akan tetapi tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang terpenting dapat dijadikan sebagai tempat sholat, atap juga selalu berjumlah ganjil, yaitu 3 atau 5. Menara berfungsi sebagai tempat untuk menyerukan azan dan merupakan salah satu kelengkapan masjid. Akan tetapi di Indonesia hanya masjid Kudus dan Banten saja yang memiliki menara. Menara masjid Kudus terbuat dari terakota yang tersusun seperti candi sedangkan di Banten bentuk menara yang lebih menyerupai mercusuar Eropa.

            Masjid juga memiliki keunikan dalam penempatannya di Indonesia terutama masjid jami’ letaknya sesuai dengan tata letak macapat, yaitu masjid diletakkan disebelah barat alun-alun dekat dengan istana atau keraton yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan rajanya. Sebenarnya penempatan majid dalam Islam tidak diatur secara khusus. Selain itu penempatan masjid diletakkan dekat dengan makam terutama untuk makam raja-raja. Contoh masjid kuno lain Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya.

            Selain majid nilai keindahan lain yang berakulturasi antara Islam dan Hindu-Buddha yakni seni. Seni ukir dalam agama Islam terdapat larangan yakni, untuk melukiskan makhluk hidup terutama manusia. Seni pahat di Indonesia sangat berkembang pesat pada zaman purba, akan tetapi masuk zaman madya (Islam), seni ini tidak berkembang lagi. Maka dari itu, pada zaman ini kepandaian memahat hanya terbatas pada seni ukir saja. Seni ukir pun sudah disamarkan sehingga tidak lagi menyerupai makhluk hidup. Banyak pola-pola yang diambil dari zaman purba, yaitu pola daun-daunan, bunga-bungaan, bukit karang, pemandangan dan garis-garis geometri. Pola-pola ini sering sekali digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup. Ukiran-ukiran biasannya menghiasi makam-makam, sedangkan pada masjid hanya tedapat di mimbarnya saja. Ukir-ukiran di makam dapat ditemui pada jirat, gapura dan cungkup.

            Wayang merupakan salah satu warisan bangsa Indonesia yang sudah berkembang selama berabad-abad. Wayang dibuat dari kulit kerbau dan mulai dibuat oleh  Sunan Kalijaga pada zaman Raden Patah. Sebelumnya lukisan wayang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang terdapat pada relief Candi Penataran di daerah Blitar yang bernuansa kerajaan dengan kiblat agama Hindu-Buddha. Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan syara sehingga Sunan Kalijaga mengubah lukisan dengan menghadap “methok” menjadi miring. Masuknya  Islam wayang beserta alat musiknya tidaklah musnah begitu saja, justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang digubah dan dimainkan menggunakan gamelan, untuk memudahkan penyebarannya cerita-cerita Hindu-Buddha dirubah dalam cerita Islam.

Simpulan

                Dampak akulturasi budaya Islam terhadap pergeseran nilai budaya Hindu-Buddha melahirkan banyak kebudayaan yang lebih beragam lagi. Indonesia merupakan negara yang banyak menampung kebudayaan dari luar meski kebudayaan sendiri sudah banyak. Masuknya Islam di Indonesia menambah keragaman budaya, selain hal tersebut Islam juga membenahi budaya yang bertentangan dengan keagamaan menjadi selaras dengan agama, tanpa menghapus kebudayaan tersebut.

            Nilai religi, tradisi, dan keindahan agama Hindu-Buddha yang awalnya membuat masyarakat Indonesia melakukan perbuatan syirik dan bertentangan dengan Islam dibenahi dengan menambah unsur-unsur Islam salah satunya do’a berdasarakan ajaran Islam, dan merubah pandangan masyarakat yang awalnya melakukan kegiatan atas dasar untuk leluhur dan meminta sesuatu kepada leluhur, menjadi kegiatan atas dasar untuk mengungkapkan rasa bersyukur atas segala hal yang dikaruniakan oleh Tuhan.

Daftar Rujukan

Madjid, N. 2008. Tradisi Islam: Peran dan Fugsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Rochym, A. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.

Dewabrata, E.P. 2009. Tatanan Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama.

Setiadi, E.M. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.

Wahyudi. 2011. Islam dan Nilai-nilai Budaya Lokal di Jawa, (Online), (https://docs.google.com/document/d/1oMTgTXtPrHQAky6XC9CgJxYtaF589lApJv5vGakqxDw/edit), diakses 17 Februari 2013.

Adisukma, W. 2012. Akulturasi Budaya Islam di Indonesia, (Online), (http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/), diakses 17 Februari 2013.

Kharisma, W.A. 2011. Akulturasi Budaya Hindu-Buddha yang Mempengaruhi Bangunan Masjid Demak, (Online), (http://amerthaganesha.blogspot.com/2012/10/akulturasi-budaya-hindu-budha-yang.html), diakses 17 Februari 2013.

Umam, C.H. 2012. Akulturasi Hindu-Buddha dengan Islam, (Online), (http://chochoirulumam666.blogspot.com/2012/11/sejarah-akulturasi-budaya-hindu-budha.html), diakses 17 Februari 2013.