ANALISIS CERPEN SEBAGAI BAGIAN DARI PEMBELAJARAN BAHASA

ANALISIS CERPEN  SEBAGAI BAGIAN  DARI PEMBELAJARAN BAHASA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG MASALAH

Banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan siswa sehingga pembinaan nilai moral yang diintegrasikan dalam mata pelajaran perlu dilakukan. Pembinaan nilai moral hendaknya memperhatikan juga ranah afektif. Penyampaian ranah afektif harus menggunakan media stimulus, salah satunya adalah cerpen. Cerpen merupakan media pembelajaran yang mengandung nilai moral dan disukai siswa. Masalah dalam penelitian enelitian ini mengkaji masalah nilai moral yang terdapat dalam cerpen untuk digunakan sebagai media pembelajaran bahasa yang sifatnya menarik. Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.

Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel.

Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.

1.2.RUMUSAN MASALAH

Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sasterawan memiliki rumusan yang tidak sama. Seperti pendsapat H.B. Jassin-Sang Paus Sastra Indonesia- mengatakan bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian.

Rumusan masalah dalam penelitian ini (1) apakah model AWK efektif untuk menganalisis cerpen yang berideologi gender pada antologi-antologi cerpen; (2) apakah proses perencanaan penerapan satu model pemahaman dalam pengkajian cerpen yang berideologi gender baik?; (3) apakah proses pelaksanaan penerapan model dalam pengkajian cerpen efektif?; (4) apakah hasil penerapan model penelitian dapat mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender? Serta dapatkah kita terapkan dalam praktiknya? Jika saja ini mampu dilakukan dengan kaidah-kaidah penulisan sebuah cerpen maka tujuan penulis dapat tercapai.

1.3.TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Tujuannya memberi kita hiburan menikmati kejadian sehari hari melalui kata kata dan memberikan kesempatan pada penulis untuk berkembang demi bakat talentanya.

Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender. Subjek penelitian adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Instrumen penelitian adalah tes skala sikap dengan alasan bahwa tes skala sikap bisa mengungkap pemahaman dan penyadaran gender mahasiswa.

Penelitian ini memunculkan temuan, yaitu (1) model AWKIG (Analisis Wacana Kritis Ideologi Gender) bisa digunakan untuk menganalisis wacana berideologi gender; (2) adanya ideologi gender dalam cerpen-cerpen yang dibahas yaitu ideologi patriarki, familialisme, ibuisme, dan umum; (3) adanya ketidakadilan gender, yaitu subordinasi, marginalisasi, diskriminasi dan represi.

Deskripsinya memperlihatkan bahwa penerapan model pembelajaran analisis wacana kritis menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara hasil belajar mahasiswa sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Kesimpulannya model analisis wacana kritis ini dapat mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam mengkaji cerpen yang berideologi gender.

Manfaatnya secara psikologis secara tidak langsung kita bisa mensyukuri nikmat hidup setelah membaca cerpen yang isinya lebih buruk. Kita bisa belajar mengenai kehidupan dan bagaimana menyelesaikan masalah melalui contoh kasus di sebuah cerpen, selain itu juga mengasah kemampuan intelektual kita untuk mengartikan dan menikmati keindahan melalui kata-kata

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Bakar Hamid dalam tulisan “Pengertian Cerpen” berpendapat bahwa yang disebut cerita pendek itu harus dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai: antara 500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak, dan adanya satu kesan.

Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.

Imron Rosidi berpendapat bahwa Cerita pendek (Cerpen) merupakan karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan dan megandung kesan yang tidak mudah dilupakan. Cerpen merupakan cerita terpenting dalam satu masa, misalnya: memiliki boneka baru ( di masa anak-anak), cinta pertama (masa remaja), (kenangan di sebuah desa (masa dewasa), dan sebagainya. Lalu, bagaimanakah unsur intrinsik cerpen?

Cerpen banyak digemari oleh banyak orang jika dibandingkan dengan karya sastra lain seperti novel atau puisi. Di samping ceritanya menarik dengan bahasa yang sederhana, panjang karangan hanya kurang lebih 2-10 halaman, di sisi lain cerita yang ditampilkan lebih sederhana.

Kunci dalam memahami isi sebuah cerita pendek dengan mengetahui unsur- unsur yang terdapat di dalamnya, baik itu unsur instrinsik maupun ekstrinsik sehingga apa yang kita baca tidak hanya sekadar selesai, tetapi dapat menceritakan kepada orang lain sehingga orang lain juga tertarik untuk membaca cerita tersebut.

Unsur intrinsik sebuah cerita meliputi tema, penokohan, alur dan setting. Tema adalah pokok persoalan yang disampaikan pengarang melalui ceritanya, misalnya: Kita tidak boleh hanya memikirkan masalah akhirat saja, tetapi juga dunia pada cerpen Robohnya Surau Kami. Cara menemukan tema dapat dicari dari jalannya cerita, karakter tokoh, dan dialog-dialog yang ada di dalamnya.

Sebuah cerita dijalankan oleh tokoh. Tokoh dalam sebuah cerita dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tokoh protagonis (tokoh yang disukai pembaca karena sifat baiknya) dan tokoh antagonis (tokoh yang tidak disukai pembaca). Sifat atau karakter tokoh dapat disampaikan secara analitik (langsung) atau dramatik (tidak langsung).

Alur adalah jalan cerita pada sebuah prosa yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Alur dibagi menjadi alur maju (progresif), alur mundur (flash back), dan alur campuran. Bisa juga dibedakan menjadi dua, yaitu alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal pada umumnya digunakan pada cerpen, sedangkan alur ganda digunakan dalam novel.

Setting atau latar adalah waktu, suasana, dan keadaan suatu peristiwa dalam sebuah cerita, misalnya pertemuan pada siang hari di sebuah kereta api.

BAB III

METODE DAN PEMBAHASAN

3.1.METODE DAN PROSEDUR KAJIAN

3.1.1.       Metode Kuantitatif

Metode Penelitian kuantitatif cerpen memiliki perbedaan jika ditilik dari tujuannya. Perbedaan tersebut tampak sebagai berikut.

Penelitan deskriptif yang biasa juga disebut dengan penelitian survey adalah penelitian yang mencoba Untuk membuat pencandraan/gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada suatu obyek penelitian tertentu untuk dapat membangun sebuah karakteristik cerpen yang memikat.

Penelitian historis untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesakan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat untuk dapat menarik minat pembaca sebagai langkah obyektif sebuah pemahaman cerpen yang bersifat empiris.

3.1.2.       Prosedur Kajian

Penelitian ini diawali adanya kebutuhan pengembangan pembelajaran analisis wacana dalam mata kuliah menulis di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Galuh Ciamis Pengembangan pembelajaran ini menyangkut analisis cerpen.

Dalam proses pembelajaran, materi tersebut dapat disampaikan melalui teknik klarifikasi nilai. Adapun tahap pembelajarannya yaitu, (1) penyiapan cerpen, yang akan dijadikan media pembelajaran; (2) penyajian stimulus (siswa membaca teks cerita atau mendengarkan teks yang dibacakan guru; (3) pengungkapan analisis siswa secara perseorangan maupun kelompok berdasarkan cerpen yang dibacanya, (4) pengujian alasan dengan meminta argumentasi siswa, kelompok, atau kelas, (5) penyimpulan dan pengarahan, (6) proses tindak lanjut berupa kegiatan perbaikan dan kegiatan latihan atau penerapan uji coba. – ANALISIS CERPEN  SEBAGAI BAGIAN  DARI PEMBELAJARAN BAHASA

3.2.PEMBAHASAN

3.2.1.       Anatomi Cerpen

Setelah mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur yang wajib ada dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat siap untuk menciptakan sebuah cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya anda mengetahui anatomi cerpen atau bisa juga disebut struktur cerita. Umumnya anatomi cerpen, apapun temanya, di manapun settingnya, apapun jenis sudut pandangan tokohnya, dan bagaimanapun alurnya memiliki anatomi sebagai berikut: 1.  Situasi (pengarang membuka cerita). 2. Peristiwa-peristiwa terjadi 3. Peristiwa-peristiwa memuncak 4.  Klimaks 5.  Anti Klimaks

Komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan sebagai berikut: Perkenalan, Pertikaian, Penyelesaian

Cerpen yang baik adalah yang memiliki anatomi dan struktur cerita yang seimbang. Kelemahan utama penulis cerpen pemula biasanya di struktur cerita ini.

Jenis Cerpen Jenis-jenis cerpen ada 3, yaitu: Cerpen Kedaerahan,  Contoh: Gampong, Orang Kaya Baru, dll

Cerpen Nasional. Contoh: Jiwa Yang Terguncang, Rumah Untuk Kemenakan, Jalan Soeprapto, Senyuman Terakhir, dll

Cerpen Pop. Contoh: Perempuan Disimpang Tiga, Roda Kehidupan, Pelabuhan Makin Jauh, Anggap Aku Bulan, Kisah Dikantor Pos, dll.

3.2.2.       Karakteristik Cerpen

Unsur-unsur Cerpen. Unsur-unsur yang terdapat pada cerpen ada dua, yaitu:  Unsur Intrinsik. Unsur Intrinsik adalah unsur yang mendukung dari dalam tubuh cerita tersebut. Bagian-bagian unsur interinsik antara lain:

1.      Tema

Yaitu gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk bercerita.

2.      Amanat. Yaitu pesan atau amanat yang ingin di sampaikan pengarang dalam bentuk tulisan.

3.      Alur atau Plot. Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu atau sambung sinambungnya suatu cerita, dimana tidak hanya menjelaskan kenapa hal itu terjadi, tetapi juga menjelaskan bagaimana hal itu terjadi. Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:

  • Plot keras. Jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
  • Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
  • Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini.

Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya: (a). Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan. (b). Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto. (c). Campuran keduanya.

4.      Penokohan. Yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut.

Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara, diantaranya melalui: 1. Tindakan, ucapan dan pikirannya. 2. Tempat tokoh tersebut berada. 3. Benda-benda di sekitar tokoh. 4. Kesan tokoh lain terhadap dirinya, 5. Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang

5.      Latar atau setting. Yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan tema dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas.

6.      Sudut Pandang Pengarang. Diantara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adlaah sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita. Ada 4 macam sudut pandang dalam bercerita:

  • Sudut pandang dari Yang Maha Kuasa. Pengarang seolah–olah maha tau, pengarang ini menggambarkan semua tingkah laku para tokoh dan juga mengerti apa yang dikerjakan oleh tokoh.
  • Sudut pandang dari Orang pertama: Pengarang menggunakan gaya akudalam bercerita, sipengarang disini tidak tidak mewakili dari pribadinya tetapi seluruh ceritanya itu tergantung pada watak tokoh aku.
  • Sudut pandang dari Orang ketiga atau peninjau: seorang pengarang menggunakan gaya dia dalm bercerita, sudut pandang ini gabungan dari Yang Maha Kuasa dan Aku yang dapat melukiskan jiwa dia tapi tidak dapat melukiskan yang lain.
  •  Sudut pandang Objektif: Pengarang bertindak seperti dalam sudut pandang Yang Maha Kuasa, tetapi pengarang tidak sampai menuliskan bathin tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.

7.      Gaya Bahasa: Yaitu cara khas pengungkapan seseorang, hal ini tercermin dalam pengarang memilih kata-kata, tema, dan memandang persoalan. Gaya Bahasa ada dua: Gaya pengarang dalam bercerita Gaya pengarang dalam bercerita biasanya menggunakan sudut pandang yang sudah dijelaskan didepan tadi. Gaya Bahasa pengarang dalam bercerita.

Gaya bahasa pengarang dalam bercerita diperlukan karena untuk memperkuat daya lukis agar tercapai efek yang dikehendaki. Biasanya pengarang menggunakan kata-kata khusus karena semakin umum istilah yang dipakai, semakin kabur gambaran cerita pendek yang disajikan. Sebaliknya semakin khusus semakin hidup lukisan gambaran ceritanya. Makna-makna khusus tersebut terdapat pada bahasa yang menggunakan majas. Gaya bahasa yang sering dipakai dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

Gaya Bahasa Perbandingan. Gaya bahasa perbandingan dapat dibagi menjadi 5, yaitu:  (a). Majas Perumpamaan/Asosiasi yaitu gaya bahasa yang memperbandingkan benda yang satu dengan benda yang lain dengan apa yang dilukiskan. Contoh: Bibirnya merah bagai buah delima. (b). Majas Metafora. yaitu gaya bahasa perbandingan yang singkat dan padat yang dinyatakan secara implisit. Contoh: Pukul delapan malam dewi malam mulai memancarkan sinarnya. (c). Si jago merah telah melalap rumah itu. (d). Majas Personifikasi yaitu gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda tak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat seperti manusia. Contoh: Angin semilir menerpa mukaku.(e). Majas Alegori yaitu gaya bahasa perbandingan yang biasa memakai cerita untuk simbol-simbol untuk menyampaikan maksud tertentu. Contoh:  Orang itu bagaikan kancil. (f). Majas Pleonasme yaitu gaya pemakaian bahasa secara berlebih-lebihan. Saya melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri. Contoh: Walau keadaannya gelap gulita dia masih tetap meneruskan perjalanannya.

Gaya Bahasa Pertentangan dibagi menjadi tiga, yaitu: (a). Majas Hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan. Contoh: Kini hidupnya benar-benar bermandikan uang. (b). Majas Litotes yaitu gaya bahasa pertentangan yang biasa memakai pernyataan untuk memperkecil sesuatu. Contoh: Terimalah hadiahku yang sederhana ini. (c). Majas Ironi yaitu gaya bahasa pertentangan yang mengungkapkan pernyataan pertentangan dengan maksud mencemoh. Contoh: Bagus sekali tulisanmu sampai-sampai aku tidak bisa membacanya.

Gaya Bahasa Pertautan Gaya bahasa pertautan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Majas Sinekdoke. 2. Majas Metonimia

yaitu gaya bahasa dengan menggunakan nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang atau barang. Contoh: Sambil mengisap djarum dalam-dalam dibukanya lembaran-lembaran kompas. Selain majas-majas yang disebutkan diatas juga ada jenis majas yang lain, misalnya: 1. Majas Eufemisme, yaitu gaya bahasa yang menggunakan bahasa sebagai pengganti kata lain dengan maksud untuk memperhalus atau menghindari hal-hal tabu. Contoh: Para TKI ilegal banyak yang diamankan oleh pihak keamanan Malaysia. 2. Majas Alusio yaitu gaya bahasa yang merujuk pada suatu karya sastra, tokoh, atau suatu peristiwa. Contoh: Dia sering bersifat kura-kura dalam perahu, sudah tahu tapi masih saja bertanya. 3. Majas Repetisi

yaitu gaya bahasa dengan melakukan pengulangan kata atau kelompok kata. Contoh: Mengapa harus putus asa? Aku masih muda dan kuat! Mengapa harus putus asa? Mengapa harus putus asa? 4. Majas Klimaks yaitu gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan. Contoh: Jangankan uang, rumah, harta kekayaan, nyawa pun akan kukorbankan demi kebaikan keluarga. 

8.      Unsur Ekstrinsik. Dalam sebuah karya sastra cerpen terdapat pula unsur Ekstrinsik yang dapat dianalisis, unsur yang mendukung dari luar cerita tersebut. Contoh unsur-unsur ekstrinsik, yaitu: Biografi Pengarang, Sosial Budaya, Moral, Agama.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.KESIMPULAN

Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novel (dalam pengertian modern) dan novel.

Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.

4.2.SARAN

Dalam sebuah karya sastra jenis cerpen seyogyanya menyimpan berbagai unsur-unsur yang dapat memberikan manfaat terhadap pembaca, dengan demikian suatu pengalaman dari seorang penyair secara terstruktur empiris akan tercipta pada pembaca. Secara tidak langsung harus dapat mensyukuri nikmat hidup setelah membaca cerpen yang isinya lebih buruk dengan alasan dapat belajar mengenai kehidupan dan bagaimana menyelesaikan masalah melalui contoh kasus di sebuah cerpen yang di baca dan diekspresikan, selain itu juga mengasah kemampuan intelektual kita untuk mengartikan dan menikmati keindahan melalui kata-kata yang terlontar melalui majas-majas yang terkandung dalam sebuah tuturan penokohan oleh penyair.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.google.co.id/search?Karakteristikl+cerpen&metode+Penelusuran+Google

http://www.google.co.id/search?hl=id&q=UnsurCepen.

http://www.google.co.id/search?hl=id&q=Anatomi Cerpen=pembelajaran cerpen menurut para pakar.

Sperber, Dan & Deidre Wilson, 1989, Relevance Communication and Cognition, Oxford: Basil Blackwell.

Sudiasih, Sri, 1995, Bahasa Cerpen, Tesis Sarjana Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Wardaugh, Ronald, 1986, Language of Advertising, Dokumentasi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.